Sabtu, 12 Maret 2011

matinya pendidikan di Indonesia

Sebelum kita melanjutkan bahasan berikut, perlu dipahami kawan-kawan pembaca bahwa kata ‘mati’ yang saya gunakan di sini bukanlah kematian secara fisik, namun ia merupakan metafora yang saya gunakan untuk melukiskan kecenderungan di mana fungsi emansipatoris dalam pendidikan kian menjadi tumpul..
Ketumpulan ini bisa kita lihat dari kecenderungan institusi/ penyelenggara pendidikan di Indonesia kini tengah gencar memproduksi lulusan yang link and match dengan pasar dunia kerja. Sehingga dalam jenjang waktu pendidikan yang singkat, diharapkan para lulusannya bisa memiliki skill praktis dan dengan mudah diserap pasar tenaga kerja.
Jutaan pelajar lulusan sekolah menengah juga kini tengah mengimpi-impikan dapat di fakultas favorit, jenjang kuliah yang singkat,dan setelah lulus mudah mendapatkan pekerjaan. Langkah ini sekilas memang terlihat strategis, mengingat Indonesia hari ini masih dibebani dengan persoalan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.
Namun saya sebut ini sebagai ketumpulan fungsi emansipatoris pendidikan yang kelak akan berujung pada matinya pendidikan, sebab ia membuat kita lupa bahwa sekolah dibangun untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan bukan sekedar untuk mempermudah manusia mendapatkan gelar, pekerjaan, jabatan di perusahaan atau pun bergaji besar. Maka tak heran pula bahwa biaya yang dibutuhkan seseorang untuk mengenyam pendidikan, tak bisa dibilang murah.
Kini kian jelas bahwa, pendidikan emansipatoris yang tadinya bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan dan mencapai budi pekerti yang baik,kini mulai berbelok ke arah yang pragmatis nan materialistis.
Praktik inilah yang telah lama menyusup ke dalam ruang-ruang kelas kita, catatan-catatan pelajaran kita, buku-buku praktikum yang wajib kita baca, hingga menjangkit ke pola pikir kita yang memandangfungsi kegiatan pendidikan bukan lagi sebagai tindakan yang emansipatoris, tetapi terkapitalisasi untuk sekedar mencari duit dan menjadi robot-robot pekerja yang baik.
Sekali lagi saya tekankan betapa konsep pendidikan yang link and match seperti ini sebagai indikasi matinya pendidikan, sebab lahan kerja yang kelak menyerap tenaga kerja berpendidikan bertujuan pada orientasi bisnis perusahaan (baca: kapitalis) semata, dan bukan berorientasi pada perbaikan struktur dan kultural masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, pendidikan link and match model begini, menurut hemat penulis akan semakin menghambat mental kepeloporan, kepemimpinan, kemanusiaan, spiritualitas, dan mentalitas-mentalit as generasi muda Indonesia masa depan.
Pendidikan yang seharusnya dibangun berlandaskan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan (virtue) sebagai nilai dasar dalam ilmu pengetahuan, kini dimuati oleh nilai-nilai komersial sebagai ajang pencarian keuntungan (profit) semata. Inilah wajah pendidikan kita yang lebih tunduk pada kekuasaan kapital daripada kebenaran ilmiah dan moral kebangsaan.
Matinya pendidikan di Indonesia mungkin baru kita rasakan sebagian kecil saja, tapi jelas bahwa ia patut untuk diwacanakan secara luas. Kecuali pada suatu nanti di masa depan, siap-siap saja kita dengar lonceng kematian ilmu pengetahuan dan praktik pendidikan berkumandang; lonceng

Minggu, 06 Maret 2011

Bahaya Ponsel Lebih Ganas dari Merokok

Bahaya Ponsel Lebih Ganas dari Merokok

Bahaya merokok bagi kesehatan memang tak diragukan lagi. Namun siapa sangka pemakaian ponsel jauh lebih membahayakan kesehatan Anda.
Dr Vini Khurana, seorang ahli bedah syaraf menyebutkan bahwa radiasi ponsel dapat lebih membunuh ketimbang bahaya merokok. menurut Vini dari data 10 tahun terakhir, semenjak pemakaian ponsel mulai menjamur, jumlah penderita kanker otak meningkat hingga dua kali lipat.
Dikutip dari The Independent, Dr. Vini dan tim telah memaparkan hasil penelitiannya dan tim mengenai bahaya pemakaian ponsel dalam sebuah jurnal kesehatan.Kesimpulan dari seluruh penelitian tersebut adalah ada hubungan erat antara tumor otak dengan pemakaian ponsel. Dan yang paling mengkhawatirkan, risiko terbesar pemakaian ponsel adalah pada anak-anak.
Vini juga membandingkan, jika tiap tahunnya 5 juta orang meninggal karena merokok, entah berapa banyak yang akan kehilangan nyawa karena pemakaian ponsel yang berlebihan. Mengingat jumlah pemakai ponsel tiga kali lebih banyak dari perokok.
Penelitian ini memang belum diakui oleh WHO, namun di awal tahun ini beberapa negara maju telah mengatur pemakaian ponsel warganya. Sebut saja Prancis dan Jerman telah menghimbau rakyatnya untuk mengurangi pemakaian ponsel.
Jadi tidak ada salahnya untuk mulai mengontrol waktu pemakaian ponsel Anda!

Merokok Beresiko Lahirkan Bayi Berbibir Sumbing

Merokok Berisiko Lahirkan Bayi Berbibir Sumbing

Merokok bukan hobi yang baik bagi ibu hamil. Sebuah penelitian membuktikan bahwa merokok saat hamil dapat sebabkan calon bayi berbibir sumbing.
Penelitian dilakukan oleh Dr. Rolv T. Lie dari Universitas Bergen, Norwegia. Dari 1.336 bayi yang lahir disana, 573 dari bayi tersebut menderita penyakit bibir sumbing. Ternyata ditemukan dalam penelitian, ibu-ibu bayi tersebut mempunyai kebiasaan merokok 10 batang sehari selama 3 bulan pertama kelahiran mereka demikian kutip dari Reutershealth.
Ibu-ibu tadi memiliki resiko 2 kali lebih besar melahirkan anak berbibir sumbing dari pada ibu yang tidak merokok.
Bagi Anda yang tidak merokok bukan berarti bisa terbebas dari risiko di atas. Karena ternyata, ibu hamil perokok pasif yang mencium asap rokok 2 jam sehari atau lebih, memiliki risiko melahirkan anak berbibir sumbing sebanyak 60 persen.
Zat beracun di dalam rokok yang menyebabkan kelainan pada bibir bayi tadi. Racun itu mempengaruhi pertumbuhan janin saat usia kehamilan 5-9 minggu, yaitu saat bibir calon bayi terbentuk.
Jadi jauhi rokok dari kehidupan Anda, sekarang!